Selamat Hari Raya Ied Mubarak

27.9.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kami sekeluarga lebaran tahun ini akan merayakan hari bahagia tersebut di Bogor, sehingga silaturahmi dengan keluarga tidak bisa dijalankan secara langsung, tidak bisa sungkem kepada orang tua dan mbahnya anak-anak, sebagaimana tradisi biasanya, karena itu kepada Ayah-Ibu di Cilacap, di Surabaya, pakde-bude,pak lik-bulik, OmTante, Mas-Mba, Adik-adik; kami memohon dengan penuh takzim mohon dimaafkan segala salah dan khilaf.
Di hari bagahagia ini pula kami mengucapkan selamat iedul fitri, semoga kebahagiaan menyertai hari indah ini. Ja'alnallah waiyyakum Minal 'Aidin wal faidzin.

kategori :

Fenomena Laskar Pelangi

27.9.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)

Alhamdulillah, hari Kamis lalu (25.9.2008), saya, istri dan kedua anakku nonton film yang kami tunggu-tunggu: LASKAR PELANGI. Kami juga berhasil membujuk teman-teman anakku disekolah untuk ikut nonton, bukan sekedar hiburannya, tapi menurut saya, inilah salah satu cara memasukan nilai dengan mudah tapi menyenangkan kepada anak-anak.Meski ada novelnya, tapi anak-anak dibawah 6 tahun, kan belum bisa membaca novel dengan sempurna, meski udah bisa baca. Thus, film-lah caranya.

Isi dan jalan cerita sudah diketahui dari novel dengan judul sama, yang ditulis ANDREA HIRATA,yang sekaligus juga pelaku sejarah sang IKAL, tokoh dalam film itu, tetapi yang berbeda, cara penyajiannya sungguh luar biasa, inilah film yang menurut saya : tdk merusak jalan cerita novel asli, tidak (minim) kontroversial, indah, tidak mengada-ada dan tidak ada serba kebetulan. Ini tentu berbeda dengan film-film sebelumnya yang sama-sama berangkat dari novel, terus dilayar lebarkan seperti Ayat Ayat Cinta, yang membuat pembaca novelnya agak kecewa. Penulis skenarionya dengan jeli bisa memahami dunia anak-anak dan guru-guru kecil dengan sangat teliti.
Dalam kasus ini, Riri Reza dan Mira lesamana, sutradara dan produser film ini mampu dengan apik menampilkan jalinan cerita yang sangat bagus. Meskipun untuk anak-anak, (mungkin) film ini kurang mudah dipahami, karena pembahasaannya banyak dengan kiasan dan tidak langsung--khas bahasa melayu--. Tapi untuk semuanya, bintang lima layak disandangkan kepada film ini.
Dari sisi pemain juga luar biasa, meski para pemain utama adalah anak-anak lokal (baca : belitong), tapi penjiwaan terhadap karakter begitu pas, kecuali SI ONENG, yang menjadi Ibu Ikan, yang 'tidak kena', entah apa sebabnya...
Totalitas Cut Mini, Ikranagara, sepuluh anak laskar pelangi juga luar biasa.
Salah seorang pemain film, Ikranagara (pemeran Pak Guru Arfan) itu menulis di salahsatu milis :
"... mutu artistik film ini ini pantas untuk dijagokan di berbagai festival film di mancanegara untuk mengharumkan nama bangsa kita yang "masih banyak menanggung beban persoalan berat" sekarang ini.
Jadi, dalam bahasa penelaah seni, film ini dipujikan sebagai karya seni "engage" yang berhasil mencapai mutu artistik tinggi. Dan aku sependapat dalam hal ini.
Juga, apa yang aku harapkan tampil, yakni momen-momen dramatik itu, tampil dengan keseriusan yang memukau, bahkan berhasil menyentuh; perasaanku (touching), selain juga keriangan hidup masa kanak-kanak berdampingan dengan kepahitan hidup akibat beban ekonomi justeru di sebuah pulu yang tergolong kaya raya sumber alamnya!
Ada adegan yang aku cemaskan sebelum menyaksikan film ini, yaitu adegan percintaan antara Ikal dan A Ling. Aku khawatir kalau adegan itu ditampilkan secara klise atau bahkan vulger, tapi Alhamdulillah bagian ini ditampilkan dengan puitis sekali, sehingga membangkitkan nostalgia indah masa remaja kita saat pertama tersentuhrasa cinta
yang erlotis itu. Puisi indah ini pun diwarnai dengan keriangan dan kelucuan masa remaja yang sungguh bernuansa naivitas tapi sekaligus murni itu... amboi!
Adegan cerdas tangkas pun digarap menuju klimaxnya yang menyentuh perasaan kita! Ya, aku sudah membaca skenarionya, juga bukunya, maka aku menyangka adegan ini tidak adan membuat aku terlibat, bukan? Tapi nyatanya Sutradara, kameraman dan editornya luar biasa: mereka mampu menjebakku untuk ikut dan larut ke dalam peristiwa yang digiring ke arah klimax kemenangan Lintang atas Juri!
Memang, seni pada dasarnya bukanlah hanya masalah "what" dan "who" tapi yang terpenting adalah "how"-nya: bagaimana sutradara, editor, kameraman menyajikan peristiwa itu! Kesuksesan segmen percintaan
Ikal dan A ling juga sama halnya, yakni kesuksesan "how" ini.
Itulah sebabnya aku menyatakan puas setelah menyaksikan film ini
untuk pertama kalinya. Termasuk adegan-adegan yang aku ambil bagian
di dalamnya -- Alhamdulillah!
(Ikranagara).
Bagi saya, kalo kita simak, di film ini dialog-dialognya juga sarat pesan da'wah namun sama sekali tanpa ada kesan menggurui. Lihatlah dialog antara Ikranegara yang berperan sebagai Pak Arfan, sang kepala sekolah, dengan Slamet Raharjo, yang berperan sebagai Pak Zulkarnain, sangat kentara pesan yang disampaikan: Kecerdasan tidak dilihat dari angka angka tapi dari hati, sekolah ini mengajarkan hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya bukan dengan meminta sebanyak banyaknya.

Begitu banyak kelebihan, tapi ada juga 'sedikit' kekurangan,apapun film ini adalah sebuah tamparan kecil buat pemerintah, para penyelenggara sekolah, yang menyelenggarakan pendidikan dengan menempatkan materi sebagai landasan utama. Kondisi SD Muhammadiyah Gantong adalah hanya salah satu contoh, tidak perlu jauh ke Belitong, di pelosok Jawa Barat atau Jawa Tengah saja masih banyak kondisi sekolah yang sedemikian. Mudah-mudahan film ini menjadi awal dari gerak pemerintah yang telah memutuskan untuk meralisasikan alokasi anggaran pendidikan 20 %. Sehingga anak-anak jenius didikan alam seperti Lintang, tidak akan bernasib seperti Lintang. Amin ya rabbil 'alamin. Wallahu a'lam bishawab.

kategori :

Selamat Ulang Tahun...Non: 4 tahun

17.9.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)


Sebelum waktu ritual sahur selesai malam tadi, saya dan istri membangunkan anakku yang nomor dua, Najma, yang biasa disapa dengan sebutan singkat "non". Kami bukan membangunkan dia untuk ikut sahur, karena memang dia bi elum begitu semangat untuk berpuasa, berbeda dengan Masnya Addin, yang sudah selalu ikut ritual sahur. Kami bangunkan karena hari ini, dini hari tadi tepatnya, 17 September, tepat 4 tahun umur dia. Di keluarga kami tidak dibiasakan pesta ultah, hanya sekali mengadakan pesta ultah untuk Addin, itupun dengan janji hanya sekali. Sedang non malah belum pernah dirayakan (pesta), ya harusnya tahun ini, seperti Addin dulu juga pas 4 tahun. Ya..akhirnya  dirayakan bersama teman2 sekolahnya.
Pikiran saya jadi mengembara ke 4 tahun lalu, dimana kami masih tinggal di rumah kontrakan di bagian bawah komplekku sekarang. Untuk anakku yang kedua ini memang waktu itu tidak punya ekspektasi apapun, baik jenis kelamin atau pengharapan lainya, kami berdua hanya tawakkal kepada Allah, atas buah hati yang kedua ini. Mungkin juga karena anak kedua, yang berbeda dengan ketika menghadai kehamilan, kelahiran dan perkembangan anak pertama, sungguh semuanya surprised.

Alhamdulillah Non juga tumbuh menjadi anak yang lebih kuat dibanding masnya, termasuk daya tahan tubuhnya, juga lebih riang, meski rewelnya juga lebih dibanding masnya. Saya tidak bermaksud membandingkan keduanya, tapi alhamdulillah saya diberi dua anak dengan dua karakter yang sama-sama menyenangkan.
Ya...sebagai orang tua, yang harus kami tangani dari dua anak kami adalah perbedaan karakter si Mas dengan si Non ini, dimana masnya tipe yang serius dan pendiam tapi cermat, sedangkan karakter non periang, meledak-ledak, tapi cepat bisa kembali tenang. Tentu ini seni yang sangat meyenangkan sebagai orang tua.

Kami hanya bisa berusaha dan berdoa smoga keduanya menemukan cara masing-masing untuk berkembang menemukan jalan pembentukan pribadinya menjadi Muslim-muslimah yang tahu dan pandai mengisi hidup, sehingga dapat eksis di dunia dan selamat di akhirat, selebihnya kami ber-tawakal-kepadaMu ya Rabb...
Untuk Non, met ulang tahun yang ke-4 ya, semoga non makin pintar, makin santun dan bisa berbagi dengan masnya dan orang lain...ayah dan ibu mencintaimu selalu
Wallahu a'lam bishawab..

kategori :

Nikmatnya Puasa di Manado

15.9.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)



Seminggu setelah ramadhan, kebetulan saya ditugaskan kantor untuk ke Manado, sebuah kota di ujung utara Indonesia. Sebetulnya ini kunjungan kedua saya di kota ini, dan kebetulan saya selalu datang di bulan ramadhan.
Saya mau cerita, bukan karena godaan-godaan kota Manado di bulan puasa ini seperti (maaf) gadis-gadis Kawanuan-nya yang memang sudah terkenal itu, tetapi justru betapa di kota yang mayoritas adalah pemeluk Kristen ini, betapa menjadi muslim di sini, begitu mudah dan berharga. Bayangkan, begitu turun dari pesawat, ketika pertama ngobrol dengan sopir mobil carteran menuju hotel, sopirnya bertanya, apakah Bapak Puasa?, sambil minta maaf, begitu dia tahu saya puasa, dia dengan antusias cerita bahwa hotel-hotel selalu menyediakan menu sahur untuk tamunya, sebagai pengganti breakfast-nya. Diapun bercerita tentang masjid-masjid di Manado, kalo ingin tarawih. Suasana kotanya juga sangat ramah dengan bulan yang hanya menjadi milik minoritas penduduknya, dimana ucapan "marhaban Ramadhan dan selamat menjalankan ibadah puasa, ada dimana-mana, dan hampir setiap kantor, partai politik, tokoh politik, sampai caleg, membuat spanduk ucapan ini, sehingga secara psikologis, saya merasa diterima sebagai muslim yang sedang menjalani ibadah puasa...subahannallah.

Ketika memasuki hotel di sebuah kawasan Boulevard, yang berdiri di pinggir pantai menghadap laut sulawesi dan Taman Nasional Laut Bunaken, di kejauhan nampak terlihat betapa gagahnya Gunung dan Pulau Manado Tua, yang konon pertama orang Manado berasal, suasana ramadhan juga langsung nampak, dimana ada brosur dan pamflet, juga menawarkan paket ramadhan, sahur, buka dan spesial kamar harga diskon, menyambut ramadhan ini. Inilah ramadhan saya yang meski di negeri minoritas muslim, tapi muslim berada di tempat terhormat. Memang toleransi agama di Manado, bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Dari sopir yang mengantarkan saya, juga saya dengar cerita bahwa jika ummat muslim merayakan hari raya, di masjid, maka warga kristen juga ikut merayakan dengan mengunjungi keluarga muslim dan membantu menyiapkan perayaan, termasuk yang menjaga parkir dan keamanan, demikian sebaliknya jika ada perayaan natal danpaskah pemuda muslim ikut merayakand an membantu.

Saya rasa, inilah kunci, kenapa, ketika di daerah-daerah lain yang muslim menjadi minoritas, sering terjadi konflik agama, di sini hampir tidak pernah terjadi (konflik itu). Ketika Gorontalo memisahkan diri menjadi provinsi, alasan agama menjadi alasan terakhir, selain karena pembagian kue pembangunan dan rentang kendali pembangunan yang jauh.
Saya rasa..ini adalah pengalaman bathin yang sangat berharga buat dari manado, selain bubur manadonya yang dikenal dengan nama Tinutuan, yang memang sangat enak.

kategori :

Pentingnya Unggah-ungguh berbahasa

14.7.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)

Saya selalu gemas, melihat acara-acara di TV, yang sudah semakin 'kacau' menempatkan bahasa, terutama menyangkut penyebutan kata ganti : anda, kamu, lu, kita dsb...
Ini ada ulasan sederhana namun mewakili kegalauan saya, oleh guru saya, pengasuh pesantren Tebuireng Jatim, KH. Salahudin Wahid


Perasaan dalam Berbahasa
KAMU adalah kata ganti orang kedua dalam bahasa Indonesia. Lalu Pak Rosihan Anwar mengusulkan untuk menggunakan kata anda sebagai pengganti kata kamu, karena kata kamu terdengar tidak pas digunakan dalam kegiatan sehari-hari terutama didalam tulisan di media.

Sejak itu koran, majalah, dan TV menggunakan kata anda sebagai kata pengganti orang kedua, termasuk untuk iklan. Tetapi ternyata kata anda tidak bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan. Adakalanya kita merasa tidak pas menggunakannya. Atau orang lain yang menilai tidak pas.

Andy Noya dalam mewawancarai HB X menggunakan kata anda. Sebaliknya HB X menggunakan kata Bapak. Kawan segenerasi saya, seorang Jawa, mengatakan bahwa Andy Noya tidak ngerti unggah-ungguh (sopan santun). Di sini kita lihat perbedaan rasa bahasa antara orang Jawa dengan non-Jawa dan generasi tua dengan generasi muda.

Memang masyarakat kita belum bisa (mungkin juga tidak perlu) mengikuti gaya lugas seperti bahasa Inggris yang menggunakan kata you untuk semua lapisan, termasuk untuk Presiden dan orang tua kita. Dulu dalam bahasa Inggris digunakan kata thee, tetapi kini tidak lagi. Bayangkan kalau kita memakai kata anda kalau berbicara dengan orang tua kita atau dengan Presiden. Tentu dianggap tidak sopan.

Bagi orang Jawa yang lebih tua atau yang kita hormati, bisa digunakan kata panjenengan. Bagi orang Sunda, bisa digunakan kata anjeun. Kalau dia orang luar Jawa, bisa digunakan kata bapak atau ibu. Bisa juga dengan kata abang. Kalau dengan kawan akrab, bisa memakai kata elu, kamu, kau anda, atau ente.

Bagaimana sikap kita kalau menghadapi lawan bicara yang lebih muda atau bawahan, yang memakai kata anda terhadap kita? Ada yang merasa tidak dihormati, tetapi ada juga yang merasa tidak jadi masalah. Terhadap orang tua atau merasa terhormat yang peka kalau kita menggunakan kata anda, kita juga harus peka kalau tidak ingin dapat masalah.

Dalam berdoa, saya menggunakan kata panjenengan terhadap Allah dan kata dalem untuk mengganti kata saya. Kata anda dan saya terasa tidak sopan. Sebenarnya untuk kata ganti orang pertama dalam bahasa Indonesia sudah tidak ada masalah. Kata saya sudah diterima dengan baik. Cucu saya memakai namanya atau kata aku untuk dirinya dan memakai kata eyang terhadap saya. Untuk orang ketiga juga ada tingkatan, yaitu kata dia dan beliau.

Bahkan untuk kata kerja dalam bahasa Jawa juga terhadap hirarki, misalnya kata minta dalam bahasa Jawa ada kata njaluk dan nyuwun, yang halus. Jadi penggunaan kata ganti untuk orang pertama dan kedua dalam bahasa Indonesia membutuhkan rasa bahasa yang berdasar kepekaan.

(Tulisan ini diambil dari Harian Pelita, 14 Juni 2008)

kategori :

Bahagia yang manusiawi, catatan seorang pramugari

14.7.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)

Bahwa modernisasi seringkali membuat orang jauh dari rasa bahagia yang sejati. Cerita dibawah ini,mungkin bukan kisah nyata, namun cerminanya adalah bagaimana modernisasi selalu mencoba menghancurkan yang namanya kekuatan cultural atau nilai-nilai tradisional.
Saya adalah seorang pramugari China Airline. Selama beberapa tahun melakukan pekerjaan yang sama, saya hampir tidak memiliki pengalaman menarik. Setiap hari saya hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton.
Pada tanggal 7 Juni yang lalu saya mengalami kejadian yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan dan hidup. Hari itu, jadwal perjalanan kami adalah dari Shanghai menuju Peking. Penumpang sangat penuh.
Di antara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, tampak dari pakaiannya yang terlihat kuno. Ia merangkul sebuah karung tua. Saat itu, saya yang berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang, berpikir betapa majunya perekonomian, hingga seorang dari desa pun mampu membeli tiket pesawat.
Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman. Saat melewati baris ke-20, saya melihat kembali kakek tua tersebut. Dia duduk dengan tegak dan kaku di tempat duduknya dengan memangku karung tua. Bagaikan patung. Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan. Menolak. Lalu saat kami hendak membantunya meletakan karung tua di atas bagasi tempat duduk, dia juga menolak. Kami pun membiarkannya duduk dengan tenang.
Menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya. Tawaran kami yang membagikan makanan juga ditolak olehnya.
Akhirnya kepala pramugari bertanya kepadanya apakah dia sakit. Dengan suara kecil dia mejawab bahwa dia hendak ke toilet, tetapi khawatir apakah di pesawat seseorang boleh bergerak sembarangan, karena ia takut merusak barang didalam pesawat.
Kepala pramugari menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya, kemudian meminta seorang pramugara mengantar dia ke toilet.
Pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik ke penumpang disebelahnya dan menelan ludah. Tanpa menanyakan kembali, kami meletakan segelas minuman teh di mejanya. Ternyata gerakan kami itu mengejutkannya. Terkejut dia mengatakan, "tidak usah, tidak usah." Kami menjawab, "Kakek terlihat haus. Minumlah." Ia pun lalu mengambil minumannya dan merogoh segenggam uang logam dari sakunya.
Kami lalu menjelaskan bahwa minuman itu gratis, dia tidak percaya. Karena menurut penuturannya, ia berkali-kali diusir oleh penjual makanan dan minuman di sekitar bandara karena dikira ingin mnegemis, padahal ia mau membeli minuman.
Kakek tua itu memang tampak mengenaskan, dengan baju lusuh dan karung bawaannya, sampai tampak seperti pengemis. Ia tampak kumal karena demi menghemat biaya, dia berjalan kaki dari desa sampai mendekati bandara.
Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik. Putra sulung sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah tingkat tiga di Peking. Anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota, tetapi mereka yang tidak biasa tinggal di kota akhirnya memilih kembali ke desa.
Kali ini orangtua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking. Sebenarnya, anak sulungnya berniat menemaninya ke Peking dengan naik pesawat, tetapi ditolak, karena menurut kakek tua itu, biayanya terlalu boros. Ia memilih pergi sendiri. Namun si sulung bersikeras membelikannya tiket pesawat.
Dia membawa sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya. Ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, dia diminta menitipkan karung tersebut di bagasi, tetapi dia bersikeras membawa sendiri, karena khawatir ubi kering itu hancur. Anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur. Kami lalu membujuknya meletakan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk. Setelah berpikir cukup lama, ia pun setuju. Dengan hati-hati dia meletakan karung tersebut.
Selama penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus. Tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar. Saat pesawat hendak mendarat, dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil? Lalu meminta saya meletakan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dan ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya. Kami semua sangat kaget.

Kami yang setiap hari melihat makanan semacam itu, merasa itu jenis makanan biasa, namun begitu istimewa di matanya.
Menahan lapar, disisihkan makanan tersebut demi anaknya. Dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa, yang belum kami bagikan kepada penumpang, dan memberikan semuanya kepada kakek tua itu. Tetapi di luar dugaan, dia menolak pemberian kami. Dia hanya menghendaki bagiannya sendiri yang belum dimakan, tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri. Perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu. Ini sebuah pelajaran berharga bagi saya.
Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia masih bertahan. Ternyata, dia sengaja menunggu kami. Sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut dan menyembah kami, mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi. Dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai. Di desa ia terbiasa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak. Dia juga berterima kasih karena kami melayaninya dengan baik, tidak memandang hina.
Selama lima tahun bekerja sebagai pramugari, beragam jenis penumpang sudah saya jumpai. Dari yang banyak tingkah, cerewet, sombong, dan lain-lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami karena pelayanan yang kami berikan.
Kami hanya menjalankan tugas rutin, tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan seperti biasanya. Tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah mengucapkan terima kasih. Yang paling membuat saya terharu adalah rasa sayangnya kepada anak, hingga ia rela membawa karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta. Ia juga berteguh hati tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya. Hal itu menyadarkan betapa kita tidak boleh memandang orang dari penampilan luar, kita harus tetap menghargai setiap orang, dan mensyukuri apa yang kita dapat.
(sumber : www.suaramerdeka.com ; resonansi; 11-07-2008)

kategori :

Arti Kebahagiaan Keluarga

11.7.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)


Semalam sampai hari ini, saya lagi payah, badan 'nggreges' tidak enak sekali, tapi untungnya bangun pagi badan sudah lumayan enak dan kembali segar, setelah semalam saya bom pake obat antibiotik dan anti masuk angin, sehingga pagi-pagi bangun terus sudah bisa bikin sendiri jahe hangat dan nasi goreng, untukku sendiri dan temanku, Indra, teman sekantor yang masih bujang kusuruh temani nginap di rumah.
Rasanya hari ini, saya agak 'melo' karena ternyata tanpa anak dan istri rumah jadi terasa sangat sepi, rumah 'sebesar' ini, di rumah sendiri, kok rasanya beda sekali kalo ada anak-anak dan istri, meski ada teman yang temanin nginep di rumah.
Pagi ini, jam 9, istriku nelpon, anakku yg cowok mau bicara, kata Istriku. "Yah..besok jemputnya ke Jakarta ya, jangan cuma di stasiun Bogor!!" anaku terdengar riang mengungkapkan harapannya agar saya menjemput did, nenek, ibu dan adiknya di Gambir. Ya, memang sekarang anak-istriku lagi liburan di Surabaya, di rumah neneknya (ibu Istriku). "Ya Insya Allah mas, kalo ayah tidak ada acara ya..." Tapi dalam hati saya sih sudah berjanji, akan saya jemput mereka, biar mereka senang".
Ini saya sedang bercerita tentang abtraksi kebehagiaan keluarga, Allah memang mewajibkan manusia beriman untuk membangun sebuah keluarga, dengan perkawinan (laki-laki-perempuan), salahsatunya adalah untuk membangun kekuatan beribadah kepadanya, kekuatan ibadah akan bisa terwujud jika tercipta 'ketenangan'. Jadi abstraksi kebahagiaan disini adalah 'ketenangan', sebagai sebuah proses yang dilewati sebelum mencapai kebahagiaan sejati.
Ketenangan di sini bukan dalam arti tenang tanpa suara, itu sunyi! bukan pula tenang dalam arti tanpa ada orang lain, itu sepi, bukan pula tenang tanpa ada orang lain, itu hampa!!. tenang disini inilah yang mungkin dimaksud Allah sebagai jalan kebahagiaan keluarga untuk saling mendukung, sehingga dalam keluarga itu saling mengasihi, saling mendorong ke arah kebaikan dan saling mengingatkan jalan kemunkaran.
Harus kuakui, sebagai keluarga muda, sungguh kami masih sering dari suasan 'tenang; itu, kami masih sering bertengkar, masih belum padu saling menyeru kepad ama'ruf, hanya spopradis aja, dan masih sering melakukan kemunkaran, apalagi menyeru untuk nahyi munkar. Namun menurut saya, itu akan terwujud bila diantara anggota keluarga, chemistry-nya sudah saling menyatu, bahwa ketenangan ada di dalam hati kesatuan anggota keluarganya, jika salah satu tidak ada menjadi berkurang ketenangan itu. Meskipun tidak selalu dalam arti berkumpul secara fisik.
Ketidakbersamaan kadang bisa juga menjadi suatu 'terapi' untuk meneguhkan sikap rasa ingin bersatu. Seperti ketika saya harus tugas belajar ke luar negeri sampai hampir setahun, justru untuk mendidik masing-masing agar memperkuat masing-masing pihak, suami, istri dan anak-anak untuk tujuan pendidikan kemandirian, dan ketika bersama lagi, maka kualitas akan meningkat. Terlebih untuk orang seperti saya, yang memang harus sering pergi keluar kota untuk tugas, yang ditunggu adalah saat-saat pertemuan kembali itu.

Seperti saat ini, ketika saya harus sendiri di rumah, sementara anak dan istri di luar kota, betapa spirit dan bahasa kami menunjukkan 'insya Allah' mendambakan kesatuan ketenangan itu hadir selalu, jadi saat-saat berkumpul itu, sesuatu yang sangat diharapkan, sebagai proses mencapai bahagia keluarga, proses menenangkan hati dan bathin, menentrampak tepatnya. Meskipun sekali lagi bukan dalam arti harfiah, karena kami sering ribut di rumah karena rebutan bantal untuk tidur, rebutan tempat tidur untuk dekat dengan ayah-ibu-anak. Tapi bukankah rebutan disini menyenangkan, bukan sesuatu yang harus dihindari?
Kembali kepada Allah
Semoga bermanfaat

kategori :

Rapuhnya Sistem Energi Kita

11.7.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)

Mulai Tanggal 11 Juli 2008 ini, PLN akan memulai menggilir pemadaman listrik. Bagi kita yang sudah sangat tergantung kepada listrik, tentu ini adalah kabar terburuk bagi kita warga yang terkena pemadaman bergilir ini, karena kita sudah membiasakan dan menggantungkan semua alat pendukung hidup dan kehidupan dengan listrik, mulai bangun tidur, sampai mau tidur lagi semua membutuhkan konsumsi listrik. Bagaimana jika berhari-hari listrik terganggu?, rasanya 3 jam saja listrik mati, kita sudah kelabakan. Yang muncul banyak protes tentu saja adalah dunia industri, karena ini berarti dampak ekonominya jelas....produktifitas menurun.
Tapi dari rasa keadilan, rasanya ini adalah kebijakan yang paling adil betul-betul adil, semuanya merasakan dampaknya, mau yang kaya-miskin semua mati, meskipun tentu saja, orang-orang yang memiliki duit sudah siap dengan alternatifnya, genset misalnya. Bahkan di TV diberitakabn pemadaman listrik bergilir ini bagi pedagang mesin diesel dan genset, ini berkah tersendiri, karena nilai penjualannya naik.
Apa yang perlu kita kritisi? Saya kira alamat yang paling terang untuk kita gugat adalah dari penanggung-jawab pembangunan di bidang energi, siapa lagi kalau bukan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), karena ujung dan pangkalnya di situ. PLN terganggu karena pasokan bahan bakar terganggu,pasokan terganggu karena kebijakan penyediaan BBM kacau, dan operasionalaisasinya oleh PERTAMINA sarat dengan ketidak beresan, apalagi terkait dengan kontrak karya pengeboran minyak, dan diduga para pejabat 'main mata' mengenai kontrak karya dengan perusahaan asing.
Kalau pengamat yang 'super kritis' menyatakan, apa saja kerjanya Pak Purnomo Yusgiantoro, selama menjadi menteri ESDM, soal ini mutlak kesalahan dia, karena dia menjadi raja di ESDM bukan kabinet saat ini saja, 3 kabinet adalah waktu yang seharusnya dia bisa merumuskan kebijakan dan sekaligus menuai hasil kebijakannya jika serius bekerja. Sementara pengamat yang 'kritis' saja, menyatakan, yang salah adalah bahwa kita tidak atau belum memiliki "grand strategi pembangunan energi nasional", sehingga soal energi masih karut marut menanganinya, tidak fokus dan dianggap soal kecil. Atau jangan-jangan ini disengaja , sebagaimana anekdot yang banyak dialamatkan kepada lembaga pemerintah, disengaja supaya terus ada proyek, kan kalosoal energi beres tidak ada lagi sumber korupsi mereka.
Ketika belajar di Jerman, saya pernah belajar mengenai kebijakan energi Jerman dan Eropa dan sekaligus field trip ke pembangkit energi alternatif. Kuncinya adalah semua alternatif sumber energi dikembangkan sesuai dengan keunggulan yang tersedia. Di daerah pertanian dan peternakan misalnya, mereka mengembangkan bio energi dari kotoran ternak dan sisa hasil pertanian, di daerah pesisir Pemerintah Jerman mengembangkan Wind Energi, dengan membangun kincir-kincir raksasa di North sea, bukan dalam skala kecil tapi besar-besaran. Tentu saja memang biayanya juga mahal. Sehingga meskipun di Eropa juga sedang mengalami krisis energi listrik, tapi pasokan dari Jerman adalah yang terbesar dibanding dengan Perancis, Belanda, Italia dan negara lainnya. Sementara kalo dibandingkan dengan kita, kita memiliki semua sumber energi itu (angin, gelombang, bioenergi, matahari, air dll), cuma bedanya lagi, kalokita cukup merasa bangga dengan kekayaan row material energinya, orang lain akan bicara kalo sudah terbukti jadi energi.
Masalah dana memang menjadi faktor kunci di Indonesia, tetapi kalo kita telah menetapkan grand strategi tertentu, harusnya poemerintah mendorong itu dengan sekuat tenaga, kalo perlu hutang, kenapa hutang-hutang kita selama ini hanya untuk soft project seperti perbankan dan konservasi, dll yang cost center. Sementara yang jelas-jelas kebutuhan rakyat mendasar, pemerintah tidak berani mengutang (langsung), padahal jelas tidak ada satupun yang menyanggah bahwa listrik (dan air) adalah urusan hajat hidup orang banyak, yang menurut UUD 1945 adalah kewajiban dan urusan pemerintah, bukan diserahkan ke pasar.
Kalo saya, kebetulan waktu kecil, pernah merasakan hidup dalam suasana yang minimal tergntung dari penyediaan sumber energi dari luar, dalam arti, listrik belum masuk ke desa kami, apalagi PDAM, sehingga kami menerangi malam dengan lampu minyak tanah atau minyak kelapa, memasak dengan kayu bakar, sedang air melimpah karena sumber air masih banyak dan bersih. Dalam kondisi sekarang meskiterganggu karena hampir semua pendukung kehidupan tergantung pada aliran listrik, jadi merasakan betapa dulu, meski dalam keterbatasan, tidak merasa terganggu karena memang semuanya menggunakan sumberdaya lokal. Inilah menurut saya kata kuncinya, kembangkan sumberdaya lokal yang melimpah di setiap daerah sebagai sumber energi, cuma jangan hanya slogan, tapi wujudkan dalam bentuk kebijakan resmi yang memiliki langkah operasional. Dan satu lagi...priority pada energy terbarukan, renewable energy.
Duh gusti....sampai kapan kita bisa menyelesaikan soal ini?...tunggu saja dengan tidak lupa berdoa...wallahu'alam bishawab

kategori :

Betapa dekatnya ajal

10.7.08 / oleh AUFA FAMILY / komentar (0)

Pagi itu agak mendung, 27.06.2008, saya lagi di depan laptop membuat laporan lapang, ketika dering telpon berbunyi...dan itu memaksaku mendekat ke meja telpon, mengangkatnya, dan terdengar salam dari seberangnya, dari budhe Mimin ternyata, panggilan akrab anak-anakku untuk kolega sekaligus sahabat terdekatku di PKSPL IPB. "Pak ndak ke rumah P?" "emang ada apa?" "lho sampeyan gimana, kan mas P, salahsatu korban jatuhnya pesawat Casa 212 TNI AU yang di gunung salak itu" "Apa? yang bener mbak...Innalillah wainna ilaihi raji'un, allahumaghfirlahu warhamhu.." saya masih belum yakin dengan berita yang barusan kudengar..."ya tapi belum ditemukan kan?, semoga dia masih diselamatkan Allah.." saya mencoba menghibur diri. Inilah kehendak Allah...tidak ada yang bisa menghindarinya...Meski akhirnya memang sore harinya itu berita sedih itu datang juga, ya inilah takdir Allah.
Memang di TV, termasuk CNN dan Aljazeera, 2 hari ini memberitakan jatuhnya pesawat TNI AU Casa 212 yang sedang melakukan ujicoba foto udara di sekitar bogor.
Berita ini bagi saya dan kami sekantor, menjadi amat istimewa, karena bukan hanya kejadiannya di kota tempat saya tinggal, tapi kami memiliki hubungan profesional dan emosial dengan salah satu korban, Fadilah Juni Putra Sinaga, dan juga keluarganya. Mas Putra, biasa kami memanggil almarhum, adalah 'alumni' PKSPL, sebutan kami untuk yang pernah bekerja di lembaga kami, sebelum dia diminta untuk bekerja di perusahaan penjual produk alat dan software Geographic Information System (GIS), sejak di kantor kami, dia memang terkenal sebagai GIS spesialist. Saya pribadi beberapa kali survey dan bekerja dalam tim yang sama dengan almarhum. Keluarga kami saling mengenal , termasuk anak-anak kami juga cukup dekat.
Kaget dan tidak percaya..itu adalah perasaan saya waktu itu, dan pikiran saya langsung terbang ke istri almarhum, Peggy, yang juga sampai kini masih tercatat sebagai staf di lembaga kami. Dia adalah teman seangkatanku ketika saya belajar di Jerman di tahun 2006, jadi sudah cukup dekat, karena selama di Jerman, tinggal di apartemen yang selalu sama, jalan-jalan, fieldtrip bersama. Dalam pikiran saya,...aduh Peggy, semoga kamu diberi kekuatan sama Allah. Doa khusus untuknya ini saya panjatkan karena, selain harus mengasuh 2 anak almarhum yang masih kecil, juga secara psikologi, dia biasa bergantung kepada suami. Tapi saya yakin....Allah sudah punya rencana, dan pasti tidak akan memberikan beban kepada hamba yang tidak kuat menanggungnya...
Berangkat dari peristiwa ini, saya berkaca kepada keluarga kami, sayapun memanjatkan doa ”Semoga Allah melindungi kami sekeluarga dari segala mara bahaya dan bala”. Istriku mengingatkan agar meningkatkan doa dan kehati-hatian, ya resiko kerjaku juga cukup tinggi, karena sering harus menyeberangi lautan.
Respon yang tidak saya duga justru dari anakku, begitu saya kasih tahu. Menurut istri saya, Addin begitu mendengar kabar itu, terdiam sejenak, dan tampak sedih. Anak sulungku, Addin, langsung telpon saya, dan memberi pesan ”ayah kerjanya hati-hati ya...”, anakku sudah cukup peka terhadap sesuatu rupanya, meski belum genap 5,5 tahun. ”Ya mas,...mas dan adik (panggilanku kepada anak-anakku) juga doakan ayah ya, agar dilindungi Allah...!!!”
Memang kematian adalah milikNya, tapi sebagian takdir adalah hak makhluk juga, jadi berikhtiar dengan antisipatif dan berhati-hati adalah jalan untuk membuat manusia semakin beriman di hadapanNya.

kategori :