Rapuhnya Sistem Energi Kita

11.7.08 / oleh AUFA FAMILY /

Mulai Tanggal 11 Juli 2008 ini, PLN akan memulai menggilir pemadaman listrik. Bagi kita yang sudah sangat tergantung kepada listrik, tentu ini adalah kabar terburuk bagi kita warga yang terkena pemadaman bergilir ini, karena kita sudah membiasakan dan menggantungkan semua alat pendukung hidup dan kehidupan dengan listrik, mulai bangun tidur, sampai mau tidur lagi semua membutuhkan konsumsi listrik. Bagaimana jika berhari-hari listrik terganggu?, rasanya 3 jam saja listrik mati, kita sudah kelabakan. Yang muncul banyak protes tentu saja adalah dunia industri, karena ini berarti dampak ekonominya jelas....produktifitas menurun.
Tapi dari rasa keadilan, rasanya ini adalah kebijakan yang paling adil betul-betul adil, semuanya merasakan dampaknya, mau yang kaya-miskin semua mati, meskipun tentu saja, orang-orang yang memiliki duit sudah siap dengan alternatifnya, genset misalnya. Bahkan di TV diberitakabn pemadaman listrik bergilir ini bagi pedagang mesin diesel dan genset, ini berkah tersendiri, karena nilai penjualannya naik.
Apa yang perlu kita kritisi? Saya kira alamat yang paling terang untuk kita gugat adalah dari penanggung-jawab pembangunan di bidang energi, siapa lagi kalau bukan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), karena ujung dan pangkalnya di situ. PLN terganggu karena pasokan bahan bakar terganggu,pasokan terganggu karena kebijakan penyediaan BBM kacau, dan operasionalaisasinya oleh PERTAMINA sarat dengan ketidak beresan, apalagi terkait dengan kontrak karya pengeboran minyak, dan diduga para pejabat 'main mata' mengenai kontrak karya dengan perusahaan asing.
Kalau pengamat yang 'super kritis' menyatakan, apa saja kerjanya Pak Purnomo Yusgiantoro, selama menjadi menteri ESDM, soal ini mutlak kesalahan dia, karena dia menjadi raja di ESDM bukan kabinet saat ini saja, 3 kabinet adalah waktu yang seharusnya dia bisa merumuskan kebijakan dan sekaligus menuai hasil kebijakannya jika serius bekerja. Sementara pengamat yang 'kritis' saja, menyatakan, yang salah adalah bahwa kita tidak atau belum memiliki "grand strategi pembangunan energi nasional", sehingga soal energi masih karut marut menanganinya, tidak fokus dan dianggap soal kecil. Atau jangan-jangan ini disengaja , sebagaimana anekdot yang banyak dialamatkan kepada lembaga pemerintah, disengaja supaya terus ada proyek, kan kalosoal energi beres tidak ada lagi sumber korupsi mereka.
Ketika belajar di Jerman, saya pernah belajar mengenai kebijakan energi Jerman dan Eropa dan sekaligus field trip ke pembangkit energi alternatif. Kuncinya adalah semua alternatif sumber energi dikembangkan sesuai dengan keunggulan yang tersedia. Di daerah pertanian dan peternakan misalnya, mereka mengembangkan bio energi dari kotoran ternak dan sisa hasil pertanian, di daerah pesisir Pemerintah Jerman mengembangkan Wind Energi, dengan membangun kincir-kincir raksasa di North sea, bukan dalam skala kecil tapi besar-besaran. Tentu saja memang biayanya juga mahal. Sehingga meskipun di Eropa juga sedang mengalami krisis energi listrik, tapi pasokan dari Jerman adalah yang terbesar dibanding dengan Perancis, Belanda, Italia dan negara lainnya. Sementara kalo dibandingkan dengan kita, kita memiliki semua sumber energi itu (angin, gelombang, bioenergi, matahari, air dll), cuma bedanya lagi, kalokita cukup merasa bangga dengan kekayaan row material energinya, orang lain akan bicara kalo sudah terbukti jadi energi.
Masalah dana memang menjadi faktor kunci di Indonesia, tetapi kalo kita telah menetapkan grand strategi tertentu, harusnya poemerintah mendorong itu dengan sekuat tenaga, kalo perlu hutang, kenapa hutang-hutang kita selama ini hanya untuk soft project seperti perbankan dan konservasi, dll yang cost center. Sementara yang jelas-jelas kebutuhan rakyat mendasar, pemerintah tidak berani mengutang (langsung), padahal jelas tidak ada satupun yang menyanggah bahwa listrik (dan air) adalah urusan hajat hidup orang banyak, yang menurut UUD 1945 adalah kewajiban dan urusan pemerintah, bukan diserahkan ke pasar.
Kalo saya, kebetulan waktu kecil, pernah merasakan hidup dalam suasana yang minimal tergntung dari penyediaan sumber energi dari luar, dalam arti, listrik belum masuk ke desa kami, apalagi PDAM, sehingga kami menerangi malam dengan lampu minyak tanah atau minyak kelapa, memasak dengan kayu bakar, sedang air melimpah karena sumber air masih banyak dan bersih. Dalam kondisi sekarang meskiterganggu karena hampir semua pendukung kehidupan tergantung pada aliran listrik, jadi merasakan betapa dulu, meski dalam keterbatasan, tidak merasa terganggu karena memang semuanya menggunakan sumberdaya lokal. Inilah menurut saya kata kuncinya, kembangkan sumberdaya lokal yang melimpah di setiap daerah sebagai sumber energi, cuma jangan hanya slogan, tapi wujudkan dalam bentuk kebijakan resmi yang memiliki langkah operasional. Dan satu lagi...priority pada energy terbarukan, renewable energy.
Duh gusti....sampai kapan kita bisa menyelesaikan soal ini?...tunggu saja dengan tidak lupa berdoa...wallahu'alam bishawab

kategori :

0 komentar:

Posting Komentar