Betapa dekatnya ajal

10.7.08 / oleh AUFA FAMILY /

Pagi itu agak mendung, 27.06.2008, saya lagi di depan laptop membuat laporan lapang, ketika dering telpon berbunyi...dan itu memaksaku mendekat ke meja telpon, mengangkatnya, dan terdengar salam dari seberangnya, dari budhe Mimin ternyata, panggilan akrab anak-anakku untuk kolega sekaligus sahabat terdekatku di PKSPL IPB. "Pak ndak ke rumah P?" "emang ada apa?" "lho sampeyan gimana, kan mas P, salahsatu korban jatuhnya pesawat Casa 212 TNI AU yang di gunung salak itu" "Apa? yang bener mbak...Innalillah wainna ilaihi raji'un, allahumaghfirlahu warhamhu.." saya masih belum yakin dengan berita yang barusan kudengar..."ya tapi belum ditemukan kan?, semoga dia masih diselamatkan Allah.." saya mencoba menghibur diri. Inilah kehendak Allah...tidak ada yang bisa menghindarinya...Meski akhirnya memang sore harinya itu berita sedih itu datang juga, ya inilah takdir Allah.
Memang di TV, termasuk CNN dan Aljazeera, 2 hari ini memberitakan jatuhnya pesawat TNI AU Casa 212 yang sedang melakukan ujicoba foto udara di sekitar bogor.
Berita ini bagi saya dan kami sekantor, menjadi amat istimewa, karena bukan hanya kejadiannya di kota tempat saya tinggal, tapi kami memiliki hubungan profesional dan emosial dengan salah satu korban, Fadilah Juni Putra Sinaga, dan juga keluarganya. Mas Putra, biasa kami memanggil almarhum, adalah 'alumni' PKSPL, sebutan kami untuk yang pernah bekerja di lembaga kami, sebelum dia diminta untuk bekerja di perusahaan penjual produk alat dan software Geographic Information System (GIS), sejak di kantor kami, dia memang terkenal sebagai GIS spesialist. Saya pribadi beberapa kali survey dan bekerja dalam tim yang sama dengan almarhum. Keluarga kami saling mengenal , termasuk anak-anak kami juga cukup dekat.
Kaget dan tidak percaya..itu adalah perasaan saya waktu itu, dan pikiran saya langsung terbang ke istri almarhum, Peggy, yang juga sampai kini masih tercatat sebagai staf di lembaga kami. Dia adalah teman seangkatanku ketika saya belajar di Jerman di tahun 2006, jadi sudah cukup dekat, karena selama di Jerman, tinggal di apartemen yang selalu sama, jalan-jalan, fieldtrip bersama. Dalam pikiran saya,...aduh Peggy, semoga kamu diberi kekuatan sama Allah. Doa khusus untuknya ini saya panjatkan karena, selain harus mengasuh 2 anak almarhum yang masih kecil, juga secara psikologi, dia biasa bergantung kepada suami. Tapi saya yakin....Allah sudah punya rencana, dan pasti tidak akan memberikan beban kepada hamba yang tidak kuat menanggungnya...
Berangkat dari peristiwa ini, saya berkaca kepada keluarga kami, sayapun memanjatkan doa ”Semoga Allah melindungi kami sekeluarga dari segala mara bahaya dan bala”. Istriku mengingatkan agar meningkatkan doa dan kehati-hatian, ya resiko kerjaku juga cukup tinggi, karena sering harus menyeberangi lautan.
Respon yang tidak saya duga justru dari anakku, begitu saya kasih tahu. Menurut istri saya, Addin begitu mendengar kabar itu, terdiam sejenak, dan tampak sedih. Anak sulungku, Addin, langsung telpon saya, dan memberi pesan ”ayah kerjanya hati-hati ya...”, anakku sudah cukup peka terhadap sesuatu rupanya, meski belum genap 5,5 tahun. ”Ya mas,...mas dan adik (panggilanku kepada anak-anakku) juga doakan ayah ya, agar dilindungi Allah...!!!”
Memang kematian adalah milikNya, tapi sebagian takdir adalah hak makhluk juga, jadi berikhtiar dengan antisipatif dan berhati-hati adalah jalan untuk membuat manusia semakin beriman di hadapanNya.

kategori :

0 komentar:

Posting Komentar