Fenomena Laskar Pelangi

27.9.08 / oleh AUFA FAMILY /

Alhamdulillah, hari Kamis lalu (25.9.2008), saya, istri dan kedua anakku nonton film yang kami tunggu-tunggu: LASKAR PELANGI. Kami juga berhasil membujuk teman-teman anakku disekolah untuk ikut nonton, bukan sekedar hiburannya, tapi menurut saya, inilah salah satu cara memasukan nilai dengan mudah tapi menyenangkan kepada anak-anak.Meski ada novelnya, tapi anak-anak dibawah 6 tahun, kan belum bisa membaca novel dengan sempurna, meski udah bisa baca. Thus, film-lah caranya.

Isi dan jalan cerita sudah diketahui dari novel dengan judul sama, yang ditulis ANDREA HIRATA,yang sekaligus juga pelaku sejarah sang IKAL, tokoh dalam film itu, tetapi yang berbeda, cara penyajiannya sungguh luar biasa, inilah film yang menurut saya : tdk merusak jalan cerita novel asli, tidak (minim) kontroversial, indah, tidak mengada-ada dan tidak ada serba kebetulan. Ini tentu berbeda dengan film-film sebelumnya yang sama-sama berangkat dari novel, terus dilayar lebarkan seperti Ayat Ayat Cinta, yang membuat pembaca novelnya agak kecewa. Penulis skenarionya dengan jeli bisa memahami dunia anak-anak dan guru-guru kecil dengan sangat teliti.
Dalam kasus ini, Riri Reza dan Mira lesamana, sutradara dan produser film ini mampu dengan apik menampilkan jalinan cerita yang sangat bagus. Meskipun untuk anak-anak, (mungkin) film ini kurang mudah dipahami, karena pembahasaannya banyak dengan kiasan dan tidak langsung--khas bahasa melayu--. Tapi untuk semuanya, bintang lima layak disandangkan kepada film ini.
Dari sisi pemain juga luar biasa, meski para pemain utama adalah anak-anak lokal (baca : belitong), tapi penjiwaan terhadap karakter begitu pas, kecuali SI ONENG, yang menjadi Ibu Ikan, yang 'tidak kena', entah apa sebabnya...
Totalitas Cut Mini, Ikranagara, sepuluh anak laskar pelangi juga luar biasa.
Salah seorang pemain film, Ikranagara (pemeran Pak Guru Arfan) itu menulis di salahsatu milis :
"... mutu artistik film ini ini pantas untuk dijagokan di berbagai festival film di mancanegara untuk mengharumkan nama bangsa kita yang "masih banyak menanggung beban persoalan berat" sekarang ini.
Jadi, dalam bahasa penelaah seni, film ini dipujikan sebagai karya seni "engage" yang berhasil mencapai mutu artistik tinggi. Dan aku sependapat dalam hal ini.
Juga, apa yang aku harapkan tampil, yakni momen-momen dramatik itu, tampil dengan keseriusan yang memukau, bahkan berhasil menyentuh; perasaanku (touching), selain juga keriangan hidup masa kanak-kanak berdampingan dengan kepahitan hidup akibat beban ekonomi justeru di sebuah pulu yang tergolong kaya raya sumber alamnya!
Ada adegan yang aku cemaskan sebelum menyaksikan film ini, yaitu adegan percintaan antara Ikal dan A Ling. Aku khawatir kalau adegan itu ditampilkan secara klise atau bahkan vulger, tapi Alhamdulillah bagian ini ditampilkan dengan puitis sekali, sehingga membangkitkan nostalgia indah masa remaja kita saat pertama tersentuhrasa cinta
yang erlotis itu. Puisi indah ini pun diwarnai dengan keriangan dan kelucuan masa remaja yang sungguh bernuansa naivitas tapi sekaligus murni itu... amboi!
Adegan cerdas tangkas pun digarap menuju klimaxnya yang menyentuh perasaan kita! Ya, aku sudah membaca skenarionya, juga bukunya, maka aku menyangka adegan ini tidak adan membuat aku terlibat, bukan? Tapi nyatanya Sutradara, kameraman dan editornya luar biasa: mereka mampu menjebakku untuk ikut dan larut ke dalam peristiwa yang digiring ke arah klimax kemenangan Lintang atas Juri!
Memang, seni pada dasarnya bukanlah hanya masalah "what" dan "who" tapi yang terpenting adalah "how"-nya: bagaimana sutradara, editor, kameraman menyajikan peristiwa itu! Kesuksesan segmen percintaan
Ikal dan A ling juga sama halnya, yakni kesuksesan "how" ini.
Itulah sebabnya aku menyatakan puas setelah menyaksikan film ini
untuk pertama kalinya. Termasuk adegan-adegan yang aku ambil bagian
di dalamnya -- Alhamdulillah!
(Ikranagara).
Bagi saya, kalo kita simak, di film ini dialog-dialognya juga sarat pesan da'wah namun sama sekali tanpa ada kesan menggurui. Lihatlah dialog antara Ikranegara yang berperan sebagai Pak Arfan, sang kepala sekolah, dengan Slamet Raharjo, yang berperan sebagai Pak Zulkarnain, sangat kentara pesan yang disampaikan: Kecerdasan tidak dilihat dari angka angka tapi dari hati, sekolah ini mengajarkan hiduplah dengan memberi sebanyak banyaknya bukan dengan meminta sebanyak banyaknya.

Begitu banyak kelebihan, tapi ada juga 'sedikit' kekurangan,apapun film ini adalah sebuah tamparan kecil buat pemerintah, para penyelenggara sekolah, yang menyelenggarakan pendidikan dengan menempatkan materi sebagai landasan utama. Kondisi SD Muhammadiyah Gantong adalah hanya salah satu contoh, tidak perlu jauh ke Belitong, di pelosok Jawa Barat atau Jawa Tengah saja masih banyak kondisi sekolah yang sedemikian. Mudah-mudahan film ini menjadi awal dari gerak pemerintah yang telah memutuskan untuk meralisasikan alokasi anggaran pendidikan 20 %. Sehingga anak-anak jenius didikan alam seperti Lintang, tidak akan bernasib seperti Lintang. Amin ya rabbil 'alamin. Wallahu a'lam bishawab.

kategori :

0 komentar:

Posting Komentar