Seminggu bersama masyarakat Pulau Seribu

20.3.09 / oleh AUFA FAMILY /


Selama seminggu penuh, 12-19 maret lalu, saya tugas lapang lagi di pulau seribu, tepatnya di pulau-pulau di bagian tengah utara: pulau pramuka, panggang, kelapa, kelapa dua dan harapan. Ini adalah nama-nama pulau berpenghuni (ada penduduk), kalao pulau yang tidak ada penduduk tentu lebih banyak lagi (namanya juga pulau seribu..he..he, tapi jumlahnya sih sebenarnya gak sampai seribu, cuma 114 pulau, dan hanya 11 yang berpenduduk).
Sebenarnya ini bukan kunjunganku yang pertama ke daerah ini, kunjunganku pertama kesana sendiri adalah tahun 2000-an, dan sejak itu pulau seribu menjadi kunjungan rutin, termasuk untuk liburan keluargaku, jadi bisa dikatakan sudah sangat 'biasa' dan familier dengan segala sesuatu disana, mulai penduduk, lingkungan, tokoh2 masyarakatnya sampai isu dan celotehan logat orang pulau yang khas. Ini terjadi karena hampir setiap bulan pasti ada kunjungan ke sana. Orang pulo (sebutan singkat untuk menyebut penduduk pulau seribu), bahkan sudah seperti menganggap saya warga mereka, saking seringnya saya datang kesana. Kunjunganku kemarin adalah termasuk yang cukup lama durasinya, biasanya paling lama 5 hari pulang.
Tapi saya tidak cerita tentang perjalanannya, saya ingin berbagi soal kegiatanku.
Tempat saya kerja, IPB, memiliki program riset dan sekaligus implementasi untuk pemulihan ekosistem dan lingkungan di kepulauan seribu. Program ini dijalankan karena, sebagai wilayah ibukota (DKI Jakarta, dan memiliki Taman Nasional Laut) kepulauan seribu mengalami degradasi lingkungan dan tekanan yang sangat cepat sehingga perlu tindakan penyelamatan. Meski untuk itu butuh upaya, dan biaya yang ekstra besar serta kerjasama penanganan yang terintegrasi, sementara kami hanya 'kecil' saja, sehingga kami sadar program kami tidak bisa menyelesaikan 'semua'. Tetapi paling tidak upaya kami turut mendorong inisiasi agar orang lain ikut, termasuk pemerintah dan masyarakat lokal.
Scope of worknya meliputi berbagai kegiatan yang arahnya dapat memperbaiki kualitas lingkungan pulau dan ekosistem lautnya, termasuk upaya penyadaran masyarakatnya melalui penyuluhan dan pelatihan. Saya ditugasi untuk dua hal : pertama, pendidikan lingkungan untuk masyarakat dan kedua, upaya pengelolaan sampah dan sanitasi pulau (berpenduduk).
Meski kepualauan seribu adalah bagian dari ibukota (DKI Jakarta), tetapi orang (jakarta) selalu menganggap sebelah mata orang pulo, bukan saja dari soal jauh jangkauan, tetapi yang paling penting adalah dari soal sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan dan gaya hidup). Tapi kini, sungguh sudah berubah. Dari pengalaman berinterakasi dengan masyarakat pulo ini, saya merasakan bahwa secara umum, antara orang pulo dan orang jakarta (daratan) sungguh semakin tipis perbedaannya dalam hal pengetahuan dan gaya hidup, apalagi dengan semakin mudahnya media informasi. Tetapi dalam hal sikap mental, sungguh saya masih prihatin, dimana sikap tergantung kepada orang luar begitu tinggi termasuk soal pemerintah(pemerintah disini aparat pemerintahnya sebagian besar adlah orang-orang Jakarta yang ditugaskan provinsi). Hal ini menurut saya bermula dari sikap pemerintah (DKI Jakarta dulu?) yang pendekatan pembangunannya dilaksanakan dengan model project dan charity, sehingga hitunganya berapa juta rupiah nilai project per jiwa(pola karitatif), sehingga di benak masyarakat tertanam dan terbiasa, jika mendengar kata 'bantuan' atau 'proyek' dari manapun maka di benak masyarakat adalah bagi-bagi uang untuk dihabiskan, dan ini terasakan sampai lama, bahkan sampai sekarang, meski pemerintah sudah mulai merobah pola pendekatannya dari pola karitatif menjadi pola pemberdayaan seperti kredit lunak dan cash carry. Untuk menghilangkan pola sikap seperti itu, susahnya bukan main.
Para ahli IPB menyebutnya, sebagai fenomena MASYARAKAT YANG SAKIT. SAKIT karena kebebasan dan kreatifitas sebagai manusia terbenam dan terninabobokan dengan obat tidur, berupa bantuan dan proyek. SAKIT karena ada symptoms negatif otomatis yang muncul ketika mendengar kata bantuan,langsung menagih dan minta bagian. SAKIT karena di dalam diri masyarakat sudah hilang sebuah effort hidup, hilang kebebasan memilih untuk dirinya. Dengan sakitnya masyarakat, maka hampir semua program pemberdayaan dari pemerintah, tidak berkelanjutan, mandek pada 1 putaran, hilang tanpa bekas atau disalahgunakan untuk kepentingan konsumtif.
Pun yang kami rasakan ketika menjalankan program ini pertama kali. tapi dengan sentuhan penyadaran, pendampingan dan intensitas kehadiran secara fisik ditengah-tengah mereka, ditambah dengan proses seleksi alam, yaitu memilah antara pelaku (orang yang punya kemauan dan pekerja keras) dengan pemain (hanya rent seeker), meski prosesnya tidak bisa cepat, tapi kami memang menanam investasi, berupa tumbuh dan bersemainya pelaku-pelaku yang menjadi cikal bakal para pengusaha-pengusaha dan penggerak produktifitas masyarakat. Sekarang masyarakat sudah mulai berubah, meski masih sebagian kecil. Para pembudidaya ikan, sekarang dengan semangat mulai membangun keramba-keramba ikan, dengan BIAYA SENDIRI. Membeli bibit ikan bukan lagi bibit bantuan, tapi MEMBELI, cash and carry. Kegiatan pariwisata juga tengah menggeliat, bukan oleh pengusaha, tapi justri wisata murah meriah oleh masyarakat, juga dengan MODAL SENDIRI.
Memang lambat, proses evolusi memang lambat tapi pasti. Saya yakin, keindahan pulau-pulau, hamparan karang, cekungan2 goba, dan relung-relung tubir ke depan akan mampu menjadi semakin ramai oleh kegiatan ekonomi masyarakat; budidaya ikan, rumput laut, pariwisata bahari dll. TAPI INGAT...alam memiliki logika keterbatasan juga, yaitu daya dukung, suatu kemampuan alam untuk menyerap anasir dari luar dan mengkondisikan hasil serapan itu agar tidak menggangu proses alamiah dirinya. Jadi...jangan coba-coba mengingkari logika ini dan harus tahu kapan dan berapa besar daya dukung itu, milikilah kearifan untuk membatasi diri. Semoga Kepulauan seribu bisa menjadi "ladang dan taman kehidupan" yang sebenar-benarnya bagi masyaraktnya.
Wallahu 'alam

kategori :

0 komentar:

Posting Komentar